Senin, 25 Februari 2013

hilmi sudah diperingatkan

Nasihat Didin Hafidhuddin untuk Hilmi, Jangan Jadikan PKS Seperti Mafia

Didin Hafidhuddin pernah menjadi panutan era PKS masih Partai Keadilan (PK). Didin yang bersahaja itu pun didaulat menjadi capres PK. Tapi itu dulu, Didin kini sudah keluar dari PKS. Dia merasa sudah tidak sejalan lagi. PKS tidak seperti era PK dahulu.

Seperti dikutip dari majalah detik, Senin (25/2/2013), Didin berkisah dirinya bersama sejumlah tokoh antara lain Mashadi, Tizar Zein, Ihsan Tanjung, dan Daud Rasyid pernah datang ke Lembang, padepokan milik Ketua Majelis Syuro PKS Hilmi Aminuddin pada Maret 2008. Mereka datang memberi nasihat pada Hilmi.

"Dalam dakwah itu nggak ada istilah bos, Godfather, semuanya sama kan?" jelas Didin.

Didin menasihati Hilmi agar arah politik PKS tidak pragmatis sampai harus menghalalkan segala cara seperti mafia. PKS harus tetap menjadi partai dakwah yang bersih dan Islami.

"Saya memberikan nasihat waktu itu karena begitu. Padahal kan seharusnya tidak ada Godfather, semuanya sama kan. Saya ingin membuktikan itu saja," kata Didin.

Didin menyatakan pertemuan dengan Hilmi berlangsung baik-baik saja. Tapi rumor yang beredar
Hilmi marah mendapat nasihat dari Didin cs. Pasca pemberian nasihat itu, Hilmi justru berbalik memperingatkan Didin. Para peserta pertemuan itu pun lalu keluar PKS satu per satu. Didin, Mashadi, Tizar Zein kini tidak lagi ada di partai itu.

Sementara itu, anggota Majelis Syuro PKS Salim Segaf menepis soal tudingan Hilmi yang disebut sebagai The Godfather. Tidak ada istilah seperti itu di PKS.

"Bukan (Godfather) sebetulnya. PKS tidak kenal kultus individu dan tidak ada dalam AD/ART Partai Keadilan Sejahtera," jelas Salim kepada majalah detik.

http://news.detik.com/read/2013/02/2...-mafia?9922022

Hukuman bagi para ulama adalah matinya hati,& matinya hati adalah beramal dengan amalan akhirat untuk tujuan duniawi.” (Imam Hasan Al bashri)

jokowi lelang jabatan , pantaskah

Gubernur DKI Jakarta Jokowi hendak melelang jabatan lurah dan camat di kalangan birokrat DKI. Ada beberapa risiko yang perlu diwaspadai dengan adanya sistem ini. Yakni orang yang kompeten malah tak mendaftar hingga gugatan hukum dari pendaftar yang tak puas.

"Memang bagus yang terpilih, tapi ada yang lebih kompeten ada yang nggak mau daftar sama sekali. Tidak semua yang bagus-bagus mau melamar," kata peneliti politik LIPI bidang Sistem Perwakilan Tingkat Lokal dan Kelembagaan, Siti Zuhro.

Berikut wawancara lengkap detikcom dengan Siti Zuhro, Jumat (8/2/2013):

Apakah lelang jabatan lurah dan camat yang akan diadakan Jokowi akan efektif merekrut birokrat yang melayani? 

Saya pernah berpengalaman menjadi tim seleksi untuk KPU dan Bawaslu, KPU DKI, Sekjen KPU, jabatan ini dilepas, dikompetisikan.

Jadi pengalaman saya dalam konteks KPU dan Bawaslu yang lalu, memang bagus. Tapi yang sangat-sangat bagus malah ogah daftar. KPU Provinsi, Kabupaten/Kota memang bagus yang terpilih, tapi yang bagus malah ada yang nggak mau daftar sama sekali. Tidak semua yang bagus-bagus mau melamar.

Oleh karena itu memang harus ada yang menjembatani. Dijembatani dengan cara meskipun jabatan itu dilelang atau dibuka, harus ada endorsement, ada dorongan, dari institusinya, 'Ini lho ada orang ini yang layak dan kapabel, berintegritas'. Contohnya begitu. Kalau nggak, nanti nyasar ke calon-calon yang tidak berkompeten dan tidak berintegritas.

Dulu di KPU ada 900-an orang, mendekati seribu. Jumlah segitu, banyak yang tidak lulus administrasi karena di bawah umur. Kedua, orang partai, yang jelas-jelas nggak boleh. Jadi tidak melengkapi persyaratan administrasi, banyak yang terbuang bukan orang yang kompeten, justru pencari kerja, bukan profesional. 

Jadi ini efek-efek sisi negatif yang tidak menguntungkan. Kompetisi iya, memang. Tapi satu sisi di tengah-tengah kompetisi sebetulnya orang-orang yang tidak kompeten. Yang kompeten sedikit sekali, itu pun harus didorong-dorong oleh kita, 'Anda kan kompeten, punya integritas, kenapa nggak daftar?'. Itu pun kami yakinkan, ada pendekatan-pendekatan pribadi.

Seperti Sekjen KPU itu dari 14 pendaftar, kemudian masuk psikotes akhirnya tinggal 9 yang kami uji. Jabatan pemerintah, maksudnya memang harus ada yang menjembatani, tidak dilelang total seperti itu. Siapa yang akan menjamin tahu secara detail. Harus ada preliminary research untuk mengetahui sejarah hidup orang yang menduduki jabatan itu.

Jadi apakah cara Jokowi dengan melelang jabatan dan lurah ini cukup inovatif dan cukup mendobrak?

Di saat kita memperbaiki birokrasi, ini berkait dengan sistem dan nilai. Dengan sistem yang menjadi pijakannya berarti mindset, cara pandang, orientasi, nilai, itu penting.

Di KemenPAN juga membuka jabatan-jabatan tertentu untuk dikondisikan. Jabatan di Lembaga Administrasi Negara (LAN), itu dikompetisikan. Di KemenPAN juga dikompetisikan, bisa dikompetisikan terbuka. 

Gambaran mekanisme yang dilontarkan Jokowi, misalnya, PNS Pemprov DKI yang berhak mengikuti lelang setingkat Eselon III dan IV, juga uji kepatutan dan kelayakan yang melibatkan pihak luar. Itu apakah sudah memenuhi syarat?

Penting, nggak apa-apa, bagus. Cuma yang melamar ini belum tentu orang-orang yang baik. Kadang-kadang orang-orang yang malas. Karena tidak setiap orang-orang baik, orang-orang hebat mau melamar. Ada yang melamar, kemudian diuji sangat tinggi akhirnya membatalkan untuk mendaftar. 

Apakah lelang jabatan lurah dan camat dalam pemerintahan daerah ini pernah ditemui sebelumnya di Indonesia?

Ini baru. Di pemerintahan kita baru. Jokowi berani seperti itu karena di KemenPAN melakukan ini. Kemarin saya konfirmasi ke Pak Wamen KemenPAN Eko Prasodjo, beliau mengatakan, "Nggak apa-apa. Kita mendorong melakukan rekrutmen yang terbuka terhadap jabatan pemerintahan".

Jadi bisa diperjelas lagi kendala-kendalanya?

Saya bilang ini harus diantisipasi penyaringan seperti ini apakah akan betul-betul menjaring, menyisir orang-orang yang tepat dan kompeten. Kan harus ada dana untuk sewa konsultan, melakukan fit and proper test dan psikologi. Dan mahal itu, bayar semua. Kecuali wawancara yang kita lakukan. Kan itu melibatkan lembaga profesional yang biasa melakukan psikotes.

Jadi ini implikasi untuk meminimalisasi orang-orang tidak berkualitas. Jangan sampai hanya menjaring job seeker, pencari kerja. 

Kemudian pula diantisipasi kemungkinan ketidakpuasan orang-orang yang melamar dan dinyatakan tidak lolos. Kita pernah tim seleksi KPU-Bawaslu sempat diajukan ke PTUN. Karena mereka merasa kok nggak lolos, apa yang salah? 

Seperti juga verifikasi partai. Nah ini yang harus diantisipasi Jokowi-Ahok. Kalau lalu harus sampai ke jalur hukum, harus bagaimana. 

Selain jalur hukum, perlu juga diantisipasi kalau mereka demo. Karena itu kan masih di level bawah banget, apa ndak demo marah-marah. Itu semua harus diantisipasi.

Lantas, apakah ada cara yang lebih ideal dari ide Jokowi ini?

Sementara tidak ada. Tapi apapun yang baru, nilainya tidak akan 10. Kalau hanya lecet iya.

Mestinya harus ada peraturan sejak awal bahwa hasil penilaian konsultan itu tidak bisa diganggu gugat secara hukum. Teken kontrak dan ada catatan bahwa keputusan tidak dapat diganggu gugat. Kalau digugat hukum terus kan bagaimana?